Read my mind n Welcome 2 my world

Monday, January 01, 2007

“Penulis Modal Dengkul” Award (2)

Kakiku yang beralaskan sepatu berhak tinggi melangkah dengan hati2 menuju stage. “Jangan sampai jatuh.” Kataku dalam hati. “ Gaun hitam yang menyatu dengan tubuhku membuatku terlihat anggun. Tak ubahnya seorang penerima oscar, kugenggam erat award yang baru aku dapatkan di ajang award bagi penulis-penulis tahun ini. Dari tadi aku sibuk mengingat orang-orang yang akan kusebutkan dalam pidato terima kasihku.

“Terima kasih kepada juri yang telah menjatuhkan Penulis Modal Dengkul Award pada Saya. Saya akan buktikan saya memang benar2 penulis modal dengkul. Saya ucapkan terima kasih kepada C’nS Junior yang telah memberikan saya kesempatan menjadi editor, jadi nggak perlu kursus “creative writing” untuk bisa menulis.

Tak lupa kepada my Senior Editor, Ibu Mathilde, seorang wanita yang senyumnya menenangkan hati. Yang tak segan2 membimbing saya untuk peka melihat “target readers” dari suatu tulisan. Beliau juga dengan senang hati memberikan kritikan. Waktu saya pertama kali serius belajar menulis, beliau bilang, “Saya mau mengkritik tulisan kamu asal kamu nggak merasa tersinggung.”

Ibu Mathil yang baru datang dari merayakan Ulang tahun perkawinannya yang ke 30 tahun duduk dengan dahi berkerut-kerut. Pasti dia kaget namanya aku sebut-sebut. Kemudian aku melanjutkan kalimatku. Tapi aku yakin dia datang untuk melihatku.

Setelah saya baca kritikan beliau, ternyata kata-katanya itu terasa menyejukkan. “Tulisan kamu nggak logis. Menulis itu harus memakai logika. Dan lebih baik kita menulis sesuatu yang kita tahu dengan baik.” Pada beliau, saya hanya cukup membayar dengan revisi tulisan yang saya ketik dengan komputer kantor pada saat break makan siang.”

Dan Ibu Mathilpun tersenyum padaku. Dia menoleh kepada suami tercinta kemudian membetulkan tempat duduknya.

Berikutnya ucapan terima kasih yang mendalam juga saya sampaikan kepada Hudan Hidayat, seorang sastrawan yang namanya sangat dikenal di dunia penulisan creative writing. Pada saat saya berikan cerpen saya yang berjudul “Gerbang Kota” dia bilang, “Kamu seorang realis dengan bahasa yang kuat.” Kemudian dia memberikan beberapa Novel koleksinya untuk saya jadikan “guru” termasuk novelnya yang terbaru yang berjudul Tuan dan Nona Kosong. Bahkan dia juga meminjamkan setumpuk Novel lama yang sampai sekarang belum selesai saya baca.

Hudan Hidayat membetulkan kacamatanya. Dia juga tersenyum sambil menoleh ke keluarganya. Dia seperti ingin memperkenalkan sumber inspirasinya padaku.

“Kepada Tutik, a sister who always tells me that reading is important. Dia seorang art lover, book lover and also music lover. Dulu saya sangat tidak suka membaca namun dia selalu membeli buku-buku dan majalah. Kemudian dia akan melihat saya dengan tatapan bahwa dia tahu banyak hal. Saya akui, memang suatu kebiasaan itu bisa dibangun dengan mengondisikan lingkungan yang kita inginkan. Sekarang saya menjadi terpacu untuk banyak membaca.”

Tutik yang sedang berjalan menenteng biolanya tersenyum padaku. Dia memilih kursi yang paling depan agar bisa melihatku dengan jelas.

“Penulis Sides juga pernah memberikan bukunya secara gratis pada saya ketika saya menghadiri seminar Ibu Naning Pranoto, Penulis yang saya kagumi. Dalam buku Ibu Naning saya mengerti bahwa Penulis cerita adalah pendongeng bukan bahwa penceramah. Oya, Buku Naning juga saya pinjam dari Ibu Mathilde. Sedangkan dari Buku Pak Sides saya mengetahui bahwa cerita itu harus membuat pembaca berkomentar, “Oh, jadi karena ini si itu jadi begini atau karena si ini ketemu si itu makanya jadi begini. Ini dan itu selalu ada benang merahnya. Kemudian ini bisa menjadi itu atau itu adalah ini dan sebagainya. Buku Arswendo juga menyadarkan saya bahwa tidakada keharusan untuk selalu berpijak pada kisah nyata. Disitulah kreativitas penulis untuk mengembangkan cerita ditantang.”

Ibu Naning, Pak Sides dan Arswendo yang duduk berdampingan melayangkan senyumnya padaku. Senyum itu mengatakan bahwa mereka bahagia bukunya bermanfaat.

“Last but not least, nama ini juga layak disebut. Jeno. Seseorang nun jauh yang menjadi tempat berbagi cerita dan mengasah ketajaman beranalisa tentang lingkungan sekitar. Dia juga tempat saya belajar membuat judul. Satu lagi, dari dialah saya belajar bahwa pengorbanan cinta tidak pernah sia-sia. Selalu ada hikmah yang kita ambil meskipun cinta itu tidak kita miliki lagi.”

Penonton bersorak-sorai mendengar kalimat ini. Jeno yang datang jauh-jauh dari Dubai untuk menghadiri penghargaan itu tersenyum malu. Raut wajahnya mengatakan bahwa tidak sia-sia puluhan emailku yang dia baca dan dibalasnya di sela-sela kesibukannya.

Tiba-tiba orang-orang yang aku sebutkan tadi melempariku dengan kertas. Rupanya pidatoku terlalu panjang dan mereka tidak mau disebut-sebut sebagai orang yang berarti dalam perkembangan kemampuanku menulis.

“Dug!!” kepalaku terbentur ke lantai. Aku terjatuh dari tempat tidur sambil memeluk guling. Ternyata aku terbangun dari alam mimpi. Tidak ada Hudan, Ibu Mathil, Jeno dan yang lain. Dasar ya, penulis modal dengkul!! Nulis cerita aja nunggu mimpi dulu!

1 Comments:

At 8:56 AM, Blogger Ira Lathief said...

Congrats buat Penulis modal dengku! Proud of u too Yun! Anda layak dapat Bin(a)tang :)

 

Post a Comment

<< Home