Read my mind n Welcome 2 my world

Monday, January 01, 2007

Gadis Kecil Berponi

Saat itu aku harus dirawat di rumah sakit selama seminggu karena radang liver. Menjelang sore aku teringat kelasku yang berisi anak-anak kelas 3 SD. Seharusnya saat ini aku berada di sana. Aku berbaring sambil menatap langit-langit. “Ela,” gumamku. Kulihat di hpku tertera Ela’s calling. Ela adalah teman baikku di LIA Bintaro, tempat aku mengajar bahasa Inggris
“Ha..lo”
“Tha... murid-murid kamu nih, pada mau ngomong!” Bisa kudengar dengan jelas suara anak-anak kecil didekat Ela.
“Haa? Ngapain...? Ya udah deh, aku ngomong sama mereka.” Kudengar suara-suara kecil itu memanggil namaku.
“Cepet sembuh ya, Miss!!” teriak anak-anak itu beramai-ramai.
“Iya, makasih. Ini suara siapa nih?”
“Alif, Miss.”
“Makasih ya, sayang. Cepet masuk kelas ya.” Kututup pembicaraan singkat itu.
Alif. Di mataku dia gadis kecil yang cerdas dan pemberani. Suatu hari dia memprovokasi teman-teman sekelasnya untuk tidak mengikuti pelajaran pada hari itu. Saat itu aku harus mengajar kelas lain karena guru kelas itu berhalangan hadir. Sedangkan kelasku akan digabungkan dengan kelas lain yang levelnya sama. Alif keluar kelas diikuti teman-temannya yang membawa tas siap untuk pulang. Gadis kecil berponi lurus dan berambut panjang itu bagaikan akan memimpin demo mahasiswa. Dia menghampiri aku yang sudah berada di depan pintu kelas lain.
“Miss!! Aku nggak mau diajar guru lain,” kata Alif berapi-api.
“Eh, pada mau ngapain? Kok malah pada keluar kelas. Ayo masuk lagi. Ini belum waktunya pulang.”
“Miss. Kita nggak mau di ajar guru lain. Miss aja deh yang ngajar,” kata teman-teman Alif.
“Maaf sayang, Miss harus ngajar kelas lain. Nggak bisa ngajar kalian hari ini. Minggu depan ya, Miss pasti ngajar kalian lagi.” Aku mencoba menenangkan mereka yang masih menuntut hal itu.”Oya, kalian kan hari ini belajar bareng sama kelas lain. Pasti seru deh ketemu temen-temen baru.”
“Nggak Miss...Nggak enak,” kata muridku beramai-ramai.
“Loh, kata siapa? Kan belum dilakuin. Nanti kan pasti belajarnya sambil main game. Nah, kalo orangnya banyak, pasti main gamenya seru banget.” Aku mencoba mengalihkan perhatian mereka. “Okey, class? Ayo semuanya! Masuk kelas sekarang ya.” Kemudian anak-anak itu masuk kelas dengan tenang termasuk Alif. Aku selalu ingin tertawa mengingat kejadian sore itu. Kadang-kadang kita tidak menyadari arti diri kita bagi orang lain. Kuputuskan untuk berbicara dengan Alif lagi melalui telepon Ela.
“Bentar ya, aku panggilkan Alif.” Ela mengetuk ruang kelasku. Guru kelas yang menggantikan aku mengizinkan Alif berbicara denganku.
“Ini Alif ya.”
“Iya, Miss.”
“Belajar sama siapa hari ini?”
“Mr.Andi. Eh, Miss sakit apa sih?”
“Sakit hati.”
‘Sakit hati? Miss marah?”
“Maksud Miss...” Aku bingung bagaimana menjelaskan sakit liver pada seorang anak berusia 9 tahun. “Dalam tubuh kita ini kan ada yang namanya hati. Gara-gara kecapekan dan makan nggak teratur, hati kita itu bisa sakit.”
“Oh.” Alif mencoba mencerna penjelasanku. “Miss kapan masuk?” lanjutnya.
“Belum tahu. Ya udah deh, Alif balik ke kelas lagi, ya. Jangan nakal ya, sayang.”
“Iya, Miss.”
Setelah pembicaraan itu berakhir aku masih mengingat pribadi Alif. Di antara teman-temannya yang lain, dia yang lebih suka menggunakan bahasa Inggris ketika berbicara denganku. Cara berbicaranya lembut namun percaya diri. Dia sering menggodaku dengan berpura-pura tidak mau mengerjakan tugas. Seringkali dia mengerjakannya dengan lambat sekali padahal aku yakin dia mampu lebih cepat dari itu. “Alif, Miss terpaksa kasih nilai B ya. Padahal kalau Alif lebih teliti bisa dapet A.” Kadang-kadang aku mengatakan itu untuk memperlihatkan bahwa dia bisa mendapatkan hasil yang lebih baik apabila dia mau lebih serius.
Ketika Alif merasa dekat denganku dia akan mulai menggodaku. Seperti sore itu.
Class, what did you study last week?”
“I don’t know Miss.”
Gaya Alif yang manja ini diikuti teman-temannya.
“How come?”
“I don’t remember Miss,”
kata Alif lagi.
“Why don’t you open your book if you don’t remember?”
“The book is in my bag.”
Alif memeluk tasnya.
“Then, why don’t you open your bag?”
“No, Miss. I don’t want to.”
Aku tidak ingin meladeni aksinya. Kemudian aku beralih ke seorang murid yang sering mengganggu teman-temannya di kelas. Gerry sepertinya tahu aku merasa terganggu dengan sikap Alif. Ketika aku menanyakan hal yang sama, Gery membuka bukunya. Aku harus menghentikan sikap Alif yang masih ingin ‘bercanda’ denganku.
“Alif, Gerry aja mau membuka bukunya, kenapa kamu nggak? Why?”
“Okay, okay Miss.” katanya dengan santainya. Akhirnya Alif mengerti bahwa saat itu bukan saat yang tepat untuk bercanda. Kadang-kadang pada saat aku memberikan waktu untuk murid-muridku bermain game, tanpa ragu-ragu dia mengatakan. “Miss, I don’t want to play”. Akhirnya aku berikan dia tanggung jawab sebagai pemimpin di kelompoknya. Dengan rasa enggan dia melakukannya. Tapi kemudian dia yang paling banyak memberikan ide. Sejak saat itu, bila saatnya bermain game aku selalu menjadikannya pemimpin di kelompoknya. Melibatkan dia secara penuh selalu bisa merebut perhatiannya kembali.
Anak-anak cerdas memang selalu mencari cara untuk menguji kesabaran gurunya. Seperti ketika aku menangkap seekor ikan dengan jaring kecil. Mungkin aku akan kewalahan. Kuarahkan jaring, makhluk air itu berloncatan kesana kemari. Tapi kemanapun dia pergi aku menghadangnya dengan jaringku. Akhirnya ikan itu meloncat sendiri ke jaringku. Mungkin siripnya kelelahan. Atau mungkin dia telah menganggapku seorang teman. Saat malam menjelang aku masih merasa seperti nelayan yang merindukan ikan-ikan kecil itu. Tapi kini aku nelayan yang terkapar. Yang tidak mampu lagi melawan angin dan gelombang dilautan. Kapalku juga terdampar di pantai. Kayu-kayunya terkoyak. Aku butuh kayu baru, lem, paku atau apapun untuk memperbaikinya. Secepatnya. Supaya aku bisa bertemu gadis kecil berponi itu lagi.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home