Read my mind n Welcome 2 my world

Thursday, September 28, 2006


Pulang Kampung

"Udah Isya belum sih?" tanyaku.

"Udah! Cepetan berangkat. Nanti ketinggalan tarawihnya, lho." Mbah Rayi yang duduk di ruang tamu tidak melepaskan pandangan dari acara di TV.

"Ntar dulu ah." kataku. Rasanya aku ingin rebahan sbentar di kamar. "Je sedang apa ya sekarang" tanyaku dalam hati. Hatiku terdorong untuk membuka email di Hp. Aku tersenyum. Ada pesan baru di inbox. Pasti itu pesan dari Jeno. Dia laki-laki nun jauh disana yang selalu menemani hari-hariku selama 4 bulan ini. Walaupun hanya lewat udara. Terpisah jarak tak membuatnya gentar untuk menyayangiku. Dia selalu membuatku merasa istimewa di matanya.

"Je nggak marah kok. Bukankah kita dianjurkan untuk menahan emosi di bulan puasa ini..." kata-kata di emailnya itu membuatku tersenyum lagi. Tadi siang aku memang sempat membuatnya tidak enak hati. Tapi dia selalu berjiwa besar menghadapi aku yang kadang terbawa emosi.

"Je ngerokoknya kadang-kadang aja. Je bisa kok brenti total merokok:-)" lanjut Jeno dalam emailnya. “Je pernah setahun lebih nggak merokok.”

Aku bangga padanya. Dia selalu mampu melakukan hal-hal baik untuk memperbaiki diri.

"Jadi gimana? Kita pulang kampung tanggal berapa?" Mbah Rayi tiba-tiba masuk ke kamarku.

"Kayaknya aku nggak pulang" jawabku sekenanya. Pikiranku masih tertuju pada Jeno.

"Kita harus pulang." katanya lagi. Aktivitasku menelusuri dunia maya sejenak terhenti. Sepertinya mbah Rayi serius dengan ucapannya. "Mbak tutik pulang kapan?"

"Blom tahu." jawabku. Aku tidak mau memberitahukan rencana kepulangan mbak Tutik, kakakku.

"Nanti kita pulang bawa mobil aja. Kita jalan sehabis sholat Ied.” Aku sedikit terkejut karena kupikir kita akan berlebaran di Jakarta. ”Pasti macet di jalan ya." kata Mbah Rayi lagi.

Kerinduannya untuk berlebaran bersama sanak saudara terlihat jelas di wajahnya. Pantas saja tadi matanya menyiratkan ketakutan ketika aku bilang nggak pulang kampung. Ketakutan akan kehilangan kebersamaan.

"Kalau aku nggak pulang gimana?" tanyaku hati-hati. Aku teringat acara Nonton Bareng C’nS Junior dengan Pembaca tgl 29 October nanti. Kalau aku pulang berarti aku melewatkan acara itu.
"Masak lebaran nggak pulang kampung!" jawabnya cepat.

"Ya kalau mbak tutik pulang kamu harus ikut nanti." paksanya. Aku terdiam dan mencoba memahami apa arti berlebaran di kampung halaman.

Aku nggak habis pikir kok lebaran kamu nggak pulang kampung.

Begitu kira-kira kata Jeno ketika aku bilang aku akan tetap di Jakarta pada saat Lebaran nanti.

Acara sungkeman di keluarga aku biasa dihadiri lebih dari 50 orang.

Cerita Jeno sempat membuatku tercengang. Aku belum pernah menghadiri acara sungkeman sebesar itu. Tapi kupikir dia beruntung memiliki keluarga besar dan kebersamaan yang erat di antara mereka.

"Pokoknya nanti kita pulang. Kamu juga ikut." Dari raut mukanya aku bisa rasakan kekhawatirannya akan kebersamaan yang mulai luntur.

Mungkin aku akan mengubah rencanaku untuk tetap di Jakarta selama liburan. Demi harapan Mbah Rayi untuk merasakan kebersamaan di hari yang fitri nanti. Demi kebersamaan yang akan ikut aku bangun pelan-pelan. Sejak lebaran tahun ini. Ya. Sejak lebaran tahun ini akan kucoba rajut kebersamaan yang lebih erat.